Penulis : M. Adianto
Kesibukan
sehari-hari terkadang membuat orang lupa akan Tuhannya. Ini bisa menyerang
siapapun, entah mereka yang bekerja atau menganggur, baik yang di lingkungan
keagamaan maupun yang dipenuhi pengondisian nilai keburukan, tidak akan luput
dari penggerusan iman. Memang iman bersifat dinamis, dia bisa naik ataupun
turun, yang salah satunya disebabkan oleh rutinitas harian. Apalagi jika
kesibukan harian tersebut diiringi dengan banyaknya beban pikiran. Target
atasan, deadline ujian, kekhawatiran akan hutang, menjadi stimulus yang
menuntut untuk diselesaikan.
Dalam menanggapi
tuntutan beban pikirannya, manusia dibagi atas 3 jenis berdasarkan tipe
kesadarannya. Pertama, ada mereka yang ‘sadar nilai penting pengerjaan
tugasnya’. Tipe ini ditunjukkan oleh mereka yang memiliki minat yang tinggi
terhadap tugasnya, sehingga dia fokus terhadap kerjanya.
Yang kedua, ada
mereka yang bertipe ‘lari dari kesadaran akan tugasnya’. Tipe ini misalnya
orang yang memilih liburan keluar kota, atau sekedar pergi tidur, saat dilanda
beban pikiran yang berat. Pada tingkat yang ekstrim, perilaku ‘lari’
ditunjukkan oleh orang yang mengkonsumsi narkoba atau minuman keras. Narkoba
dan minuman keras itu digunakan sebagai media penghilang kesadaran, alih-alih
untuk memikirkan beban pikirannya.
Tipe yang
terakhir adalah mereka yang tetap mengerjakan tugasya (tidak lari seperti tipe
kedua), namun dalam mengerjakannya dia tidak sadar terhadap nilai penting beban
tugasnya. Sehingga proses pengerjaannya tidak fokus, asal-asalan, diiringi
perasaan kesal. Bahkan bagi orang beriman yang kurang kuat spirtualitasnya,
pada tipe ini dia bisa meragukan adanya pertolongan Allah.
Penulis
memandang tidak ada masalah bagi orang tipe pertama. Namun apabila tipe kedua
atau tipe ketiga yang kini sedang anda rasakan, maka saya ajak anda untuk
bersama-sama berpikir sejenak mengenai ‘kesadaran’. Saya ajak anda menyadari
kehadiran nikmat Allah di dalam mekanisme kesadaran manusia, di setiap
kesibukan, deadline, atau bahkan kondisi santai kita. Semoga dengan pemahaman
ini, kita tidak menyia-nyiakan nikmat kesadaran yang Allah berikan pada kita.
-
Mekanisme
kesadaran manusia
-
Sebagai makhluk
hidup, manusia tentu memiliki ciri untuk merespon stimulus. Merespon stimulus
berarti memberikan tanggapan atau reaksi atas stimulus. Tanpa adanya respon,
manusia akan dianggap mati. Misalnya orang yang sakit dalam kondisi koma,
kita akan menganggap dia seperti orang mati karena ketidakmapuannya dalam
menanggapi stimulus. Tanpa adanya respon terhadap stimulus, bisa juga berakibat
hilangnya eksistensi atau kematian bagi manusia itu sendiri. Misalnya orang
yang tidak merespon menghindar saat ada benda berat menimpa kepalanya, akan
mengalami gegar otak di kepalanya sehingga berakibat kematian.
Sedangkan
stimulus diartikan sebagai apa-apa saja yang menyentuh alat indra, baik dari
internal diri maupun eksternal (Rakhmat, 2012:49). Karena bisa berasal dari
luar ataupun dalam manusia, maka sangat banyak jumlah stimulus yang diterima
oleh manusia per harinya (bahkan per menitnya). Hanya dari eksternal saja,
dalam satu momen penglihatan kita sudah mendapatkan banyak stimulus warna,
bentuk, dan ukuran dari benda-benda di sekitar kita. Di saat yang bersamaan,
indra pendengaran, penciuman, dan peraba kita mencerap stimlusnya
masing-masing. Belum lagi stimulus internal diri seperti denyut jantung, aliran
darah, aliran udara, pencernaan makanan, dan sebagainya.
Dalam menanggapi
stimulus, respon manusia dibagi menjadi 2, yaitu respon sadar dan respon tidak
sadar. Respon sadar berarti manusia tersebut benar-benar menyadari stimulus apa
yang dia respon, dan menyadari atas pilihan respon yang bagaimana untuk
menanggapi stimulus tersebut. Misalnya seperti respon kita saat berkomunikasi
dengan orang, perilaku kita menawarkan produk, dan selainnya. Sedangkan respon
tak sadar berarti tidak adanya kesadaran manusia untuk memahami atau menentukan
pilihan perilaku atas stimulus yang diterimanya. Misal gerakan denyut jantung
kita, keseimbangan kita saat naik sepeda, atau perilaku reflek lainnya.
Semuanya itu respon atas stimulus yang jarang sekali kita menyadarinya.
Satu hal yang
menakjubkan adalah, dari sekian banyak stimulus yang diterima manusia, sebagian
besarnya direspon secara tidak sadar oleh manusia. Sigmund Freud menggambarkan
jiwa manusia seperti gunung es, di mana bagian gunung es yang berada di
permukaan air memiliki volume sangat kecil, dibanding bagian yang berada di
bawah permukaan air. Alam bawah sadar manusia layaknya bagian yang terbesar,
sedangkan alam sadar hanyalah sisanya (Sarwono, 1986:156).
Gunung es
tersebut bisa menjadi gambaran seberapa besar respon sadar-tak sadar kita
terhadap stimulus. Memang secara kenyataannya banyak dari stimulus yang kita
terima direspon secara tak sadar. Seperti denyut jantung, ritme pernafasan,
keseimbangan tubuh, dan stimulus tubuh lainnya tidak pernah kita sadari
kinerjanya. Kita sering sadar hanya pada satu atau beberapa stimulus saja,
tanpa bisa menyadari semuanya sekaligus.
-
Nikmat Allah dalam
Mekanisme Kesadaran
-
Di sinilah
nikmatnya. Tuhan mengatur kesadaran kita tidaklah lebih dari 30% dari sekian
banyaknya stimulus. Nikmat ini bisa dilihat dari 2 aspek, yaitu dari aspek
energi yang digunakan manusia dan aspek prioritas kebutuhan penyelesaian
masalah.
Pertama, dari
aspek energi yang digunakan. Otak manusia mengkonsumsi banyak energi. Apabila
manusia harus sadar terhadap semua stimulus, maka energi yang dibutuhkan oleh
otak akan sangat banyak. Bayangkan, untuk memikirkan stimulus deadline tugas
saja kita mengeluarkan banyak tenaga untuk fokus, bahkan ada mereka yang sampai
kecapekan memikirkan tugas-tugasnya. Apalagi jika dia harus memiliki
kesadaran pula untuk memikirkan denyut jantungnya, ritme nafasnya, dan lainnya.
Tentu ini akan menguras banyak energi.
Namun dengan
adanya mekanisme kinerja bawah sadar, membuat respon manusia tidak harus
melewati proses otak berpikir. Mekanisme seperti ini akan mengurangi biaya
energi yang dikeluarkan dalam merespon stimulus.
Kedua, dari
aspek prioritas kebutuhan penyelesaian masalah. Dengan adanya penghematan
energi, maka akan ada cukup energi untuk otak memikirkan stimulus-stimulus yang
bersifat sebagai pengembangan diri manusia seperti penyelesaian masalah sosial,
pengibadahan, dan sebagainya.
Bayangkan jika
energi otak terkuras untuk menyadari stimulus-stimulus ragawi pribadi manusia,
tentu akan tidak cukup energi untuk memikirkan masalah-masalah sosial. Manusia
hanya akan seperti tumbuhan yang hanya fokus memenuhi kebutuhan fisiologis
dirinya. Padahal kepedulian sosial itulah yang menjadikan manusia sebagai
manusia, bukan hewan atau tumbuhan.
Inilah bukti
salah satu sifat Allah yang biasa kita sebut sebagai Yang Maha Memelihara.
Pemeliharaan-Nya diwujudkan dalam mengambil alih kesadaran diri kita terhadap
stimulus ragawi diri kita, dan membiarkan Dirinya sendiri senantiasa sibuk
untuk mengatur mekanisme tubuh kita.
(Yang
memiliki sifat-sifat seperti itu) adalah Allah Tuhanmu. Tidak ada Tuhan selain
Dia. Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia. Dan Dia adalah Pemelihara
segala sesuatu. (QS Al-An’am: 102)
.
.
Namun
demikian, Allah tidak mengambil alih seluruh kesadaran kita. Kita masih
memiliki kesadaran terhadap beberapa stimulus. Ada beberapa hikmah
mengapa Allah menghendaki demikian:
- Untuk
membuat kita merasakan kepuasan atas hasil usaha. Karena rasa kepuasan
hanya didapatkan jika kita ikut berkontribusi dalam membuat suatu
kesuksesan. Apabila Allah mengambil seluruh kesadaran kita, maka semua
kesuksesan manusia adalah kesuksesan Allah. Namun jika kita memiliki
kesadaran saat menciptakan karya kita, maka berarti ada kontribusi kita
dalam kesuksesan karya tersebut. Sehingga itu menimbulkan perasaan
bangga dan puas.
- Sebagai kewajiban untuk memperoleh balasan surga. Sebuah pembalasan terhadap seseorang tentunya didasarkan atas apa yang sudah dilakukan oleh orang tersebut. Tidak layak bagi seseorang mendapatkan pujian apabila dia tidak pernah berbuat baik bagi masyarakatnya. Begitupun dengan surga, manusia harus melakukan kebaikan dengan kesadarannya sendiri. Apabila semua kesadaran dipegang oleh Allah, maka tidak layak bagi manusia untuk mendapatkan surga.
-
Kesimpulan
-
Beban pikiran yang kita sadari sesungguhnya tidaklah terlalu besar. Bandingkanlah stimulus beban pikiran kita itu, dengan banyaknya stimulus yang harusnya kita sadari. Bandingkan masalah target atasan atau deadline tugas anda, dengan masalah peredaran darah, ritme detak jantung, ritme pernapasan, mekanisme pencernaan, regenerasi sel, keseimbangan tubuh, yang semua stimulus itu harusnya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Maka bisa kita dapati bahwa sesungguhnya keluhan kita terhadap beban pikiran kita tidaklah sebanding dengan kesibukan Allah dalam memelihara kita.
Kita tidak perlu lagi sibuk memikirkan bagaimana membasmi sekelompok virus dan bakteri yang tiap waktu memasuki dan mengancam tubuh. Allah lah yang mengurusi hal itu, dengan menciptakan mekanisme respon otomatis pasukan sel darah putih. Kita tidak perlu disibukkan dengan bagaimana mengkoordinasi gerak tangan, kaki, berat tubuh yang menuntut agar kita tetap berkendara dengan seimbang. Allah telah mengurus hal itu dengan mekanisme reflek yang telah diciptakannya.
Maka sangat memalukan jika kita mengeluh akan banyaknya beban hidup kita. Apalagi mereka yang meragukan bantuan Allah dalam kondisi sulit mereka. Karena tanpa mereka sadari. Allah selalu memelihara mereka, baik saat kita dalam kondisi lapang maupun dalam kondisi terhimpit.
Sebagian besar kebutuhan hidup kita telah berada di bawah tanggung jawab Allah. Kita hanya perlu bertanggung jawab atas sisanya, tidak lebih dari bongkahan kecil gunung es di atas permukaannya. Maka layakkah bagi kita untuk lari dari tanggung jawab itu? Ataukah kita ingin Allah menghapus semua kesadaran kita akan tanggung jawab itu?
Tidak, Allah tidak akan melakukan itu. Karena Allah terlalu sayang pada hamba-Nya. Allah tidak mencabut kesadaran kita sepenuhnya. Agar kita bisa merasakan bagaimana puasnya turut berperan dalam kesuksesan karya,. Dengan kesadaran itu pula, kita menjadi pribadi yang layak di mata Allah untuk mendapatkan surga-Nya.
Maka marilah kita bangun kesadaran, bahwa di setiap tekanan hidup yang kita jalani, Allah senantiasa memelihara kita. Lewat sunatullah mekanisme kesadaran yang dititipkan-Nya pada kita, Dia menunjukkan kasih sayang-Nya. Dan dengan kasih sayang itu, semoga kita bisa terus terpacu menghadapi masalah apapun dengan penuh keiklasan. Bersama Allah, semoga kita kuat menghadapi tantangan apapun, bukan lantas mengeluh dan menyerah dengan problema yang ada.
Posting Komentar